Masa SMP merupakan momentum titik balik bagi kehidupan seorang Felix
Yanwar Siauw. Pada masa remaja itulah dalam diri Felix timbul keraguan
atas agama yang telah dianutnya sejak ia kecil. Berbagai pertanyaan
mengenai konsep Tuhan, pengampunan dosa, dan hakikat penciptaan manusia
dalam agama Katolik muncul dalam benaknya. ”Di agama saya yang lama
memang banyak hal yang tidak terjawab pada waktu itu,” ujarnya.
Sebagai contoh, ketika ia menanyakan soal trinitas dan keberadaan
Yesus sebagai Tuhan kepada pastor, jawaban dari semua pertanyaaannya
tersebut berakhir pada kata dogma,
yakni ajaran yang sudah ada sejak
dahulu dan tidak boleh dipertanyakan oleh orang-orang yang beriman
kepada Yesus.
Ketika mendengar jawaban seperti itu dari sang pastor, akhirnya Felix
lebih memilih untuk mundur dari agama Katolik. Keputusan untuk keluar
dari agama Katolik, menurut ayah satu orang putri ini, juga dilandasi
oleh kenyataan mengenai praktik-praktik keagamaan yang dilihatnya hanya
sebagai sebuah ritual kosong.
”Saya melihat selama ini teman-teman saya datang ke gereja hanya
untuk sebuah proklamasi kalau dia sudah punya pacar, kemudian dibawa ke
gereja atau sekadar hanya untuk pamer pakaian bagus,” ungkapnya.
Ketika ia memutuskan meninggalkan agama Katolik, sejak saat itu
pulalah ia tidak percaya adanya Tuhan Sang Mahapencipta. Masa-masa
seperti itu ia alami hingga menjelang akhir duduk di SMP.
Begitu memasuki kelas tiga SMP, berbagai pertanyaan yang pernah ada
dahulu, muncul kembali dalam benaknya. Kemudian, dia mencari jawaban
dari berbagai pertanyaan tersebut ke mana-mana. Hingga kemudian, dirinya
sampai pada satu kesimpulan bahwa Tuhan itu memang benar ada.
Keyakinannya bahwa Tuhan itu ada muncul setelah ia mempelajari ilmu
biologi bahwa penciptaan manusia dari sperma yang tidak mempunyai akal.
Dari sini ia memahami bahwa manusia itu diciptakan dari sesuatu yang
amat istimewa. ”Kemudian saya kembali yakin bahwa Tuhan itu ada. Tapi,
namanya siapa ini yang belum jelas,” tambah Felix.
Percaya tapi tak beragama
Meskipun meyakini bahwa Tuhan itu ada, namun hal itu tidak lantas
membuat Felix memutuskan untuk memilih salah satu ajaran agama sebagai
jalan hidupnya. ”Ketika saya mencari siapa sesungguhnya Tuhan itu ke
Kristen Protestan, tidak dapat. Begitu juga di agama Buddha, karena
tuhannya juga bersifat manusia, tidak layak untuk dijadikan Tuhan,”
paparnya.
Percaya Tuhan, tapi tidak beragama, begitulah kira-kira gambaran
kehidupan spiritual yang sempat dijalaninya selama kurun waktu lima
tahun. Selama itu pula, ia hidup dengan bayang-bayang tiga pertanyaan
besar. Yakni, setelah mati manusia mau ke mana, untuk apa manusia
diciptakan di dunia, dan dari mana asal mulanya alam semesta tercipta.
Ia terus mencari jawaban dari ketiga pertanyaan besar ini. Proses
pencarian itu berakhir di pertengahan tahun 2002, begitu dirinya
menginjak bangku kuliah semester ketiga di Institut Pertanian Bogor
(IPB). Ketika itu, dirinya memutuskan pindah tempat kos. Di tempat kos
yang baru ini, ia tinggal bersama-sama dengan mahasiswa yang beragama
Islam.
Suatu ketika salah seorang teman kosnya yang Muslim menyarankannya
untuk menemui seorang ustadz untuk mendiskusikan tiga pertanyaan besar
itu. ”Saya bilang, selama ini saya diskusi dengan ustadz sama saja.
Mereka enggak ada bedanya dengan pastor, cuma mereka pintar menyembunyikan kejahatannya,” ujar Felix menanggapi saran temannya kala itu.
Temannya tidak putus asa untuk membujuk Felix agar mau bertemu dengan
guru ngaji itu. Ketika ia bertemu langsung dengan sang ustadz, dirinya
menemukan pandangan mengenai Islam yang sangat jauh berbeda dengan apa
yang dipahaminya sebelumnya.
”Ternyata yang saya temukan dalam Islam berbeda. Saya menemukan suatu
konsep yang sangat luar biasa. Di mana dia (Islam–Red) menyediakan
konsep akhirat dan juga dunia. Artinya, Islam ini bisa menjawab seluruh
pertanyaan saya,” ujarnya.
Dari sini kemudian dirinya tertarik untuk mempelajari Alquran lebih
dalam. Salah satu ayat di dalam Alquran yang membuatnya berdecak kagum
adalah surat Albaqarah ayat 2 yang menyatakan, ”Kitab ini tidak ada
keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang yang bertakwa.”
Kendati demikian, pada saat itu ia masih mengira bahwa yang
menciptakan kitab suci ummat Islam ini adalah seorang manusia biasa,
seperti halnya kitab suci agama yang lain. Namun, ketika sampai padanya
penjelasan bahwa Alquran itu bukan buatan manusia, ia menganggap hal itu
sebagai lelucon. Dia pun meminta bukti bahwa penjelasan itu benar
adanya.
Keraguan tersebut kemudian terjawab melalui surat Albaqarah ayat 23
yang menjelaskan, ”Dan bila kalian tetap dalam keraguan terhadap apa
yang Kami turunkan ini, datangkanlah kepada Kami satu surat yang semacam
dengannya.”
Bagi dirinya surat Albaqarah ayat 23 ini merupakan sebuah segel dan
tantangan terbuka buat manusia, tapi manusia tidak ada yang bisa membuat
seperti itu. Dari diskusi panjang tersebut Felix merasa yakin bahwa
Alquran merupakan kitab yang diturunkan dari Tuhan pencipta semesta
alam, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk memilih Islam–di saat usianya
baru menginjak 18 tahun–sebagai jalan hidupnya hingga kini.
Mengetahui anaknya masuk Islam, sudah pasti kedua orang tua Felix
syok dan marah. Namun, kemarahan keduanya hanya ditunjukkan dalam bentuk
rasa kekecewaan. ”Kalau sampai pada pengusiran memang tidak terjadi
seperti yang dialami mualaf lainnya.”
Rasa kecewa tersebut ditunjukkan oleh kedua orang tuanya dengan
kata-kata pedas. ”Kamu ini kemasukan setan atau jin. Kamu itu seperti
mutiara yang menceburkan diri ke dalam lumpur.” Lalu saya katakan,
”Lumpurnya yamg mana dan mutiaranya yang mana.”
Namun, dengan berbagai upaya yang Felix lakukan selama tiga tahun,
kini kedua orang tuanya sudah bisa menerima pilihan hidupnya itu. Meski
dalam beberapa hal, baik ayah maupun ibunya, masih belum bisa menerima
perbedaan tersebut. Seperti ketika putrinya yang masih berusia satu
tahun mengenakan kerudung.
”Kalau anak saya dibawa ke tempat orang tua pakai kerudung, ibu saya
tidak akan mau menggendongnya. Tapi, bapak saya masih mau
menggendongnya,” ungkapnya.
Sementara sang ayah merasa keberatan jika cucu perempuannya itu
diminta untuk memanggil Felix dengan sebutan abi. Pasalnya, menurut sang
ayah, panggilan abi tersebut tidak ada kewajibannya di dalam Alquran.
Kendati begitu, ia merasakan sebuah kepuasan diri yang tidak pernah
dirasakan sebelum menemukan Islam. Selain itu, dengan meyakini Islam,
hidupnya menjadi lebih bermakna dan terarah.
”Merasa puas karena setiap fenomena yang saya lihat dalam hidup ini
bisa dijelaskan dengan Islam. Saya juga lebih punya tujuan hidup karena
saya sudah tahu dari mana asal saya, apa yang harus saya lakukan di
dunia ini, dan saya mau ke mana setelah mati,” ujarnya.
(republika)
Pada kisah diatas, umumnya karena kurang pemahaman dan bimbingan tentang Kekristenan.
BalasHapusBandingkan dengan kisah berikut, umumnya adalah orang yang taat beragama. Please visit
http://islam-masukkristen.blogspot.com/