Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Bramantyo Prijosusilo, seorang seniman
Yogyakarta gagal menggelar pentas seni ‘Membanting Macan Kerah’ di depan
Markas Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Kotagede Yogyakarta, Rabu
(15/2/2012) lalu. Lasykar MMI berhasil menghentikan aksi provokasinya
agar MMI agar bersikap anarkis menentang aksi seni "menghina agama
Islam". Ini terlihat saat ia diprotes dan dilarang oleh lasykar MMI, ia
dan media yang seotak dengannya secara koor menyanyi ia dikroyok.
Glagat busuk dalam aksi nekad Bramantyo
ini sudah tercium oleh MMI, yaitu upaya mencari simpati untuk menggalang
penolakan terhadap MMI sebagai yang sudah menimpa FPI,
"Bagi kami, ini bukan seni tapi
politisasi seni. Ini SARA, karena tanggal 13 Februari mereka merilis
kalau kelompok seperti kami (MMI, FPI, dan lainnya) sering
mengintimidasi kaum minoritas," tegas Sekretaris MMI, Ust. M. Shabbarin
Syakur seperti diberitakan vivanews.com, Rabu, 15 Februari 2012.
MMI dalam situs resminya tegas menyebut
Bramantyo Prijosusilo sebagai Budayawan Penista Agama. MMI mengirimkan
surat "Laporan Penistaan Agama" pertanggal (14/2/2012) kepada Kapolda
DIY atas aksi yang akan dilakukan Budayawan Penista Agama ini pada
keesokan harinya. Tidak main-main MMI menghimbau kepada kepolisian untuk
menghalau pertunjukan Budayawan Penista Agama Bramantyo Prijosusilo dan
menangkapnya.
Salah satu penghinaan terhadap Islam dan
kaum muslimin yang dilakukan Bram, ia dengan lancang berani melakukan
tafsir sesat terhadap Al-Qur'an. Surat Al-Fatihah yang diwajibkan oleh
Islam untuk dibaca pada setiap rakaat shalat dianggap sebagai bukti
kesesatan umat Islam. Ia menuduh semua kaum muslimin yang masih membaca
surat Al-Fatihah berada dalam kesesatan. Sehingga katanya, “Bila
seseorang merasa yakin dirinya tidak sesat maka tidak perlu membaca
Al-Fatihah. Membaca Al-Fatihah merupakan pengakuan setiap insan, setiap
diri yang membutuhkan membacanya, senantiasa berpotensi sesat….”
Dalam Islam, seorang yang jahil tidak
boleh berbicara tentang agama. Seseorang yang tidak menguasai persoalan
agama tidak boleh melakukan penafsiran terhadap Al-Qur'an. Sehingga
kalau saja kesimpulannya benar, ia tetap berdosa. Karena ia tidak
memiliki kapasitas untuk berbicara tentang Al-Qur'an. Sebab, Islam
melarang orang berbicara tentang Allah, agama dan ayat-ayat-Nya tanpa
ilmu.
قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا
لَا تَعْلَمُونَ
"Katakanlah: "Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) berbicara terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui"." (QS. Al-A'raf: 33)
Sementara Syetan di antara godaan
terbesarnya agar manusia berbicara tentang Allah tanpa ilmu (semaunya
sendiri). Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
"Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah: 169)
. . .Surat Al-Fatihah yang diwajibkan oleh Islam untuk dibaca pada setiap rakaat shalat dianggap oleh Bramantyo Prijosusilo sebagai bukti kesesatan umat Islam. . .
Membaca Al-Fatihah Tidak Sesat
Doa yang paling dibutuhkan manusia dalam hidupnya terdapat dalam surat Al-Fatihah. Yakni:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
"Tunjukilah kami jalan yang lurus,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada
mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat." (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Karena jika Allah telah menunjukinya
kepada jalan yang lurus, maka Allah akan menolongnya dalam menjalankan
ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Sehingga ia tidak
akan tertimpa keburukan, baik di dunia maupun di akhirat.
Bersikap sesuai dengan keridhaan Allah, yakni sesuai ketentuan Islam yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
merupakan sebab kebaikan seseorang di dunia dan akhirat. Sedangkan
menyimpang darinya merupakan sebab keburukan baginya di dunia dan
akhirat. Dan sesungguhnya keburukan itu akibat dari dosa. Sementara
berdosa merupakan kebiasaan manusia. Sehingga ia membutuhkan hidayah
setiap saat. Karenanya, hidayah ini lebih dibutuhkan olehnya dari makan,
minum, dan oksigen. Karena kalau seseorang tidak dapat makan, minum,
dan oksigen resikonya adalah kematian di dunia. Sedangkan jika
kehilangan hidayah maka resikonya adalah kehancuran hidup di dunia dan
akhirat. Di dunia ia mendapat berbagai musibah dan kekacauan. Sementara
di akhirat ia mendapat siksa yang tiada tara. Semua itu sebagai akibat
dari dosanya.
Maksud dari permohonan hidayah dalam
ayat di atas bukanlah seperti yang diduga oleh Budayawan Penista Agama,
Bramantyo Prijosusilo. Perkataannya tidak memiliki nilai dalam timbangan
Islam, karena ia bukan orang yang memiliki kapasitas untuk berbicara
tentang tafsir Al-Qur'an. Ia bagian dari manusia yang tidak berilmu dan
gemar berbicara tentang Allah dan ayat-Nya tanpa ilmu, alias ngawur.
Syaikh Abdurahman bin Nashir al-Sa'di dalam tafsirnya menjelaskan makna dari Ihdinash Shiratal Mustaqim,
yakni tunjuki dan arahkan kami, dan berilah taufiq untuk meniti
shiratal mustaqim. Yaitu jalan terang yang menghantarkan kepada Allah
dan surga-Nya. Yaitu mengetahui kebenaran (Islam) dan mengerjakannya.
Kemudian beliau membagi permohonan
hidayah tersebut kepada dua macam: Pertama, tunjuki kami kepada
al-Shirat. Kedua, tunjuki kami dalam al-Shirat.
Hidayah kepada Shiratal Mustaqim, maksudnya adalah melazimi agama Islam dan meninggalkan agama-agama selainnya. Sedangkan hidayah dalam Shiratal Mustaqim
mencakup hidayah untuk mengetahui dan mengamalkan rincian dari ajaran
dien (agama ini). Maka doa ini termasuk doa yang paling lengkap dan
paling dibutuhkan oleh seorang hamba. Karenanya, setiap insan wajib
berdoa kepada Allah dengan doa ini pada setiap rakaat shalatnya, karena
sangat butuh terhadapnya.
Imam Ali bin Muhammad bin Abi al-'Izz
al-Hanafi dalam Syarh al-Aqidah al-Thawiyah menjelaskan tentang makna
permohonan hidayah di atas, adalah tidak seperti yang dikatakan sebagian
mufassirin, "Sesungguhnya Allah telah memberinya hidayah, lalu kenapa
ia meminta hidayah?"
Beliau melanjutkan, "Bahwasanya
maksudnya adalah memohon tatsbit (keteguhan) atau mazid al-hidayah
(tambahan hidayah)." Karena seorang hamba, tuturnya, sangat butuh agar
Allah memberinya ilmu tentang perintah-perintah yang akan ia kerjakan
dan larangan-larangan yang harus ia jauhi dalam setiap harinya. Ia juga
butuh taufiq (restu dengan diberi kekuatan dan kemampuan) untuk
mengerjakannya. Karena dalam menapaki kehidupan berislam, ia tidak hanya
butuh pada ilmu semata. Karena ilmu tanpa diikuti dengan iradah
(greget) untuk mengerjakannya maka ilmu itu akan menjadi bumerang bagi
dirinya, dan ia belumlah disebut sebagai orang yang mendapat petunjuk.
Selanjutnya, ilmu dan keinginan saja belumlah cukup, ia butuh pada
kemampuan untuk mengerjakannya dengan greget yang telah dimilikinya tadi.
Sesungguhnya perkara yang belum kita ketahui sangatlah banyak. Sedangkan persoalan yang belum tumbuh greget untuk mengerjakannya karena meremehkannya atau malas itu jumlahnya sebanding dengan yang sudah kita iradahi
(greget untuk mengerjakannya), lebih atau kurang. Sama dengan itu
persoalan yang kita tidak mampu mengerjakannya padahal sudah tumbuh
greget dalam diri kita. Sehingga kita benar-benar membutuhkan hidayah
yang sempurna. Yakni membutuhkan tambahan pengetahuan tentang urusan
perintah dan larangan, lalu memohon agar diberi ilham untuk semangat
mengerjakannya, dan kemudian diberi kemampuan untuk menuanaikannya
dengan sempurna. Jika ini sudah kita miliki, selanjutnya kita
membutuhkan tastbit (keteguhan) di atas hidayah sehingga ajal
menjemput. Selanjutnya kita memohon agar hidayah yang sudah kita dalam
kehidupan dunia ini berlanjut di akhirat, yakni kepada surga Allah
Ta'ala.
Karena besarnya kebutuhan manusia kepada
hidayah ini, maka mereka diperintahkan agar senantiasa membaca doa ini
dalam shalat. Tidak ada sesuatu yang lebih ia butuhkan dari pada apa
yang terkandung dalam doa ini. Sehingga wajib kita ketahui, dengan
kemurahan Allah, Dia menjadikan doa ini sebagai sarana penting
memperoleh kebaikan yang terhindar dari keburukan.
. . . orang yang tak mau meminta petunjuk kepada Allah, pastilah ia tersesat. Karena Allah tak memberinya petunjuk, walau ia mengaku benar-benar di atas petunjuk. . .
Penutup
Seseorang yang senantiasa membaca surat al-Fatihah yang di dalamnya terdapat doa permohonan hidayah kepada Shiratal Mustaqim
adalah orang yang tau akan kelemahan dirinya dan besarnya kebutuhan
dirinya dalam menjalani kehidupan ini supaya sesuai dengan keridhaan
Allah Ta'ala. Ia sangat butuh kepada pengetahuan terhadap
perintah-perintah dan larangan-larangan yang telah Allah tetap atas
dirinya, yang jumlahnya sebanyak bintang di langit. Lalu ia butuh agar
Allah ilhamkan semangat dan keinginan untuk mengerjakannya. Kemudian ia juga butuh kepada qudrah
(kemampuan) untuk mengerjakan semua itu. Jika ini terpenuhi,
selanjutnya ia butuh agar bisa istiqamah dan teguh melaziminya hingga
akhir hayat. Dan terakhir kesempurnaan hidayah di dunia tersebut
berlanjut di akhriat, yakni ia memperoleh petunjuk untuk menempuh jalan
ke surga. Sehingga sempurnalah kebaikan dirinya di dunia dan akhirat.
Dari sini nampak jelas bahwa kesimpulan
Budayawan Penista Agama, Bramantyo Prijosusilo yang menuduh sesat orang
yang masih membaca surat Al-Fatihah. Yang berarti, seseorang yang tak
mau membaca surat Al-Fatihah berarti ia sudah di atas petunjuk. Padahal
sebaliknya, orang yang tak mau meminta petunjuk kepada Allah, pastilah
ia tersesat. Karena Allah tak memberinya petunjuk, walau ia mengaku
benar-benar di atas petunjuk. Jika Allah menyesatkan seseorang, maka tak
ada seorangpun yang sanggup memberinya petunjuk.
. . . Jika benar Bramantyo menjalankan keyakinannya ini, maka benar-benar ia telah kafir. Jika sebelumnya ia muslim, ia telah murtad dari Islam. Dan orang murtad tidak lain hukumannya adalah pancung. . .
Sesungguhnya orang yang tak mau membaca
Al-Fatihah berarti ia tak menjalankan shalat. Karena tidak sah shalat
seseorang kecuali dengan membaca surat Al-Fatihah. Sedangkan para ulama
berkesimpulan siapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja dengan
menentangnya, menolak perintah shalat atau mengingkarinya maka ia telah
kafir. Jika benar Bramantyo menjalankan keyakinannya ini, maka
benar-benar ia telah kafir. Jika sebelumnya ia muslim, ia telah murtad
dari Islam. Dan orang murtad tidak lain hukumannya adalah pancung.
Telebih dia berani menista agama Islam maka bukan hanya darahnya halal
ditumpahkan, tetapi wajib dialirkan. Hadanallah wa Iyyakum Ajma'in.
[voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar