Dalam rombongan haji kami, ada sekitar 10 orang Jepang asli yang ikut
menunaikan ibadah haji. Beberapa di antaranya, seperti Omar-san, bahkan
baru memeluk Islam sekitar 3 tahun lalu. Sikap dan perilaku orang
Jepang selama ibadah haji di tanah suci sangatlah membuat malu kami-kami
yang telah ber-Islam sejak lahir. Mereka sopan, santun, dan tekun dalam
ibadah. Pilihan mereka untuk menyegerakan berhaji saat masih muda dan
mampu, juga membuat saya malu. Meski kelihatannya sederhana, pergi haji
memang sebuah pilihan yang tidak mudah bagi kita yang banyak kesibukan.
Jangankan untuk orang Jepang, untuk saya saja, selalu ada alasan untuk
menunda-nunda
keberangkatan haji. Mulai dari kesibukan, anak masih
kecil, hingga belum cukup biaya. Padahal sebenarnya kalau diniatkan
semua bisa lakukan.
Sebenarnya perasaan malu sebagai orang Islam, mulai saya rasakan pada
penghujung Ramadan lalu. Saat itu saya berbuka puasa di Masjid Turki,
Tokyo. Dalam kesempatan itu saya bertemu dengan salah satu orang Jepang,
namanya Salih Kubo. Ia adalah orang Jepang yang baru memeluk Islam
kurang lebih empat tahun lalu. Beberapa tahun setelah memeluk Islam, ia
keluar dari pekerjaannya dan memilih menunaikan ibadah haji. Kebetulan,
Salih-san, begitu ia biasa dipanggil, pergi haji menggunakan jasa travel
yang sama dengan kami, sehingga kami bisa saling berbagi cerita.
Haji, bagi Salih-san, adalah sebuah momen transformasi diri dan
ibadah yang paling mengesankan. Awalnya, Salih-san melihat dan
mempelajari Islam dari literatur dan bertemu dengan beberapa ulama
Islam. Informasi mengenai Islam telah diterima sejak kecil dalam
pelajaran sejarah sehingga tidak terlalu asing baginya. Di situ, ia
melihat bahwa Haji adalah sebuah ibadah yang penuh dengan makna.
Sepulang dari haji, Salih-san, begitu ia dipanggil, memilih tetap
bekerja full time di Islamic Center-Japan, yang salah satu tugasnya
adalah juga untuk membantu masyarakat Jepang yang ingin mengenal Islam.
Dari informasi yang ia terima, Salih-san melihat bahwa ajaran Islam
itu pada prinsipnya penuh kedamaian dan keterbukaan terhadap perbedaan.
Beberapa ajaran tasawuf bahkan mirip dengan ajaran Taoisme. Berbeda
dengan persepsi banyak pihak yang mengatakan bahwa Islam itu agama penuh
kekerasan dan kaku, ia justru berpendapat sebaliknya. Oleh karena itu,
Salih-san menyayangkan adanya banyak mispersepsi tentang Islam. Di tanah
suci, Salih melihat betapa universalnya Islam. Berbagai suku bangsa,
warna kulit, pangkat dan jabatan, semua datang ke satu tempat tanpa
perbedaan, berbaju ihram, dan menyembah Tuhan yang satu.
Namun menjadi Islam di Jepang ternyata tidak mudah bagi Salih-san.
Tidak seperti Indonesia, yang pemerintahnya mengatur urusan-urusan
agama, Jepang adalah negara sekuler. Agama adalah urusan
personal. Pemerintah sama sekali tidak mengatur soal ibadah ataupun
perayaan keagamaan. Akibatnya, Jepang tidak mengenal hari libur agama.
Jadi kalau lebaran, ataupun natalan, orang Jepang tetap bekerja, karena
kalendernya tidak ada tanggal merah untuk hari-hari tersebut. Masalah
memeluk Islam di Jepang, menurut Salih-san, lebih banyak ke soal
praktikalitas sehari-hari dalam beribadah.
Memang tidak mudah menjadi orang Islam di Jepang. Ajaran Islam yang
mensyaratkan ibadah ritual, masih sulit diterima oleh masyarakat Jepang.
Mulai dari sholat lima waktu, sholat Jum’at bagi pria, puasa Ramadhan,
Hari Raya Ied, hingga ibadah haji, masih sulit diterima dalam pemahaman
masyarakat Jepang. Hal yang lebih berat lagi adalah apabila kita bekerja
di perusahaan Jepang.
Kalau kita bekerja di perusahaan Jepang, tidak mudah untuk
mendapatkan ijin melakukan ibadah-ibadah ritual tersebut. Apalagi orang
Jepang terkenal dengan budaya kerja keras. Akhirnya, kata Salih-san,
orang Islam harus pintar-pintar menyiasati pekerjaannya agar tetap dapat
melakukan ibadah.
Salih-san mengatakan bahwa meski jumlahnya tidak signifikan, orang
Jepang yang memeluk Islam relatif banyak. Mereka memiliki komunitas yang
bisa menjadi sarana informasi bagi warga Jepang yang ingin mengenal
Islam.
Di masjid Turki Yoyogi misalnya, Salih-san dan rekan-rekannya
menjadikan masjid tersebut terbuka bagi orang Jepang. Banyak orang
Jepang yang bukan Islam diperbolehkan ikut masuk ke masjid. Mereka
menonton orang Islam sholat dan saat bulan puasa lalu, ikut buka puasa
bersama. Sebagian wanita Jepang yang datang bahkan masih tetap memakai
rok mini dan pakaian atas yang tidak tertutup (kerudung). Tapi Salih-san
tidak melarang mereka, ataupun merasa bahwa mereka menghina Islam
(sebagaimana di banyak negara, yang melarang rok mini masuk masjid).
Bagi Salih-san dan rekan-rekannya, masjid terbuka bagi siapa saja yang
ingin belajar tentang Islam.
Ajaran Islam memang masih asing bagi orang Jepang. Bukan hanya Islam,
tapi agama samawi lainnya, seperti Kristen dan Yahudi, juga bukan
menjadi agama populer di Jepang. Orang Jepang memang masih menganut
ajaran nenek moyang yang lebih menekankan pada aspek budaya dan ritual
leluhur mereka. Hal terpenting bagi mereka adalah berbuat baik bagi
sesama dan menciptakan masyarakat yang tertib dan tertata.
Bagi Salih-san, secara tatanan masyarakat, orang Jepang sebenarnya
sudah mengikuti ajaran-ajaran penting dari agama Islam, yaitu akhlak.
Nabi Muhammad tidak diutus selainkan untuk membenahi akhlak. Di Jepang,
masyarakatnya sudah tertib, memerhatikan kepentingan orang lain,
menerima perbedaan, dan menjaga kebersihan. Itu sebenarnya esensi dari
agama Islam. Bahkan ada satu penelitian yang mengatakan bahwa Jepang
termasuk salah satu negara ranking teratas di dunia yang masyarakatnya
Islami (the most Islamic country), jauh di atas Indonesia ataupun negara Islam lainnya (How Islamic are Islamic Countries?, Global Economy Journal, Vol 10).
Tapi Salih-san meyakini, bahwa di atas itu semua ketertiban dan
tatanan yang Islami itu, secara personal orang Jepang tetap membutuhkan
agama. Mereka perlu tempat dan gantungan di kala senang atau susah. Dan
itulah peran agama. Untuk itulah agama tetap penting baginya.
Salam dari Tokyo.
( junantoherdiawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar