Warga Jerman kini ramai-ramai belajar Islam.
Mereka mengaku sama-sekali tidak terpengaruh pada isu perang global
melawan terorisme yang dikobarkan Amerika dan menyudutkan umat Islam.
Hal itu terungkap dalam laporan Lutz Ackermann, salah seorang jurnalis
ternama, di harian Jerman terkemuka Der Spiegel.
Proses perjalanan batin mualaf Jerman umumnya sama. Mereka rata-rata
penganut Kristen yang bingung pada ajaran agamanya. Ada beberapa ajaran
yang membuat penganutnya ragu akan kebenaran agamanya kata Mohammed
Herzog, imam di Masjid Berlin yang sebelumnya justru seorang pendeta.
Setelah mencari di berbagai keyakinan, hati mereka tertambat pada Islam.
Angka pindah agama di kalangan kelas menengah Jerman cukup
mencengangkan. Kendati media rajin memberitakan tentang terorisme yang
dikaitkan dengan Islam, bom bunuh diri dan kekerasan dalam rumah tangga,
namun 4.000 warga negara Jerman telah masuk Islam hanya pada bulan Juli
2004 hingga Juni 2005. Jumlah muallaf meningkat empat kali lipat
dibanding tahun sebelumnya, justru di saat kebencian Barat terhadap
Islam makin memuncak tulis laporan itu. Sebagian besar mualaf adalah
kaum terpelajar yang masuk Islam atas kesadaran sendiri. Bila tiga tahun
lalu kebanyakan mualaf adalah wanita yang pindah agama karena
pernikahan, kini justru banyak kaum pria dari kalangan kelas menengah.
Salah satu muallaf yang baru saja menemukan kenikmatan Islam adalah
Yahya Schroeder. Sebelumnya, ia adalah remaja biasa yang menikmati hidup
dengan hura-hura, pesta, minum alkohol, mabuk-mabukkan dan maksiat
lainnya. Yahya memeluk Islam sejak Nopember 2006. Saat remaja lain sibuk
mereguk nikmatnya puncak masa remaja, pria 18 tahun ini justru sedang
berada di puncak pencarian spiritualnya. Melalui situs
www.readingislam.com ia menorehkan kisah perjalanan spiritualnya itu
kepada publik, semata-mata untuk berbagi pengalaman dengan sesama
saudara se-Islam, terutama yang berdomisili di negara non-Muslim.
Memang, seperti diakui Yahya, hidup sebagai seorang Muslim di Jerman
tidaklah mudah. “Jika orang Jerman ditanya apa yang mereka ketahui
tentang Islam, maka mereka akan jawab Islam identik dengan yang berbau
Arab. Jadi persis seperti sebuah simbol operasi dalam matematika, Islam =
Arab. Mereka belum tahu kebesaran Islam yang sebenarnya,” imbuhnya.
“Kala itu aku punya segalanya; rumah mewah, mobil, uang, dan berbagai
macam jenis mainan canggih. Aku tidak pernah kekurangan uang, tapi
entahlah, aku merasa hidup tidak tenang, selalu gelisah. Kala itu pun
aku berpikir untuk mencari “sesuatu” yang lain,” sambungnya.
Melalui ayahnya yang lebih dahulu menjadi muallaf, Yahya mulai tertarik kepada Islam.
Yahya mulai tertarik kepada Islam. Sejak itulah ia mulai serius belajar
Islam dan menghadiri forum pengajian rutin setiap bulannya di kota
Postda.
Sumber : forsansalaf.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar