MELBOURNE -Tahun 2004 lalu, mungkin menjadi tahun yang paling berkesan
bagi seorang Susan Carland. Betapa tidak, wanita kelahiran Melbourne,
Australia, ini terpilih sebagai Tokoh Muslim Australia (Australian
Muslim of the Year) 2004. Sejak saat itu, sosoknya dikenal luas di
seluruh penjuru Negeri Kangguru, bahkan hingga ke negeri tetangga.
Kendati
pernah dinobatkan sebagai Tokoh Muslim Australia berpengaruh, sejatinya
Susan bukan berasal dari keluarga Muslim. Kedua orang tuanya merupakan
pemeluk Kristen yang taat. Ia sendiri baru mengenal Islam pada usia yang
baru menginjak 19 tahun.
Orang tuanya bercerai ketika Susan
berusia tujuh tahun. Ia kemudian memilih untuk tinggal bersama ibunya,
yang dianggapnya sebagai sosok wanita yang gigih, penyayang, dan orang
yang paling banyak memengaruhi perjalanan kehidupannya.
Sebagai
pemeluk Kristen yang taat, sang ibu pun mengharuskan anak gadisnya itu
untuk aktif dalam kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu. Namun,
ketika menginjak usia 12 tahun, ia memutuskan tidak lagi menghadiri
kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu. "Saat itu, saya beralasan
bahwa saya tetap percaya kepada Tuhan meskipun tidak ke gereja."
Namun,
keinginan yang kuat untuk mengenal Tuhan lebih jauh pada akhirnya
mendorong Susan untuk ikut aktif lagi di kegiatan gereja. Ia kemudian
memutuskan bergabung dengan sebuah komunitas gereja yang menurutnya
terbilang lebih toleran dibandingkan yang sebelumnya pernah ia masuki.
Walaupun
aktif dalam kegiatan gereja, diakui Susan, dirinya tetap bisa melalui
masa remajanya seperti kebanyakan gadis seusianya. Pada waktu senggang,
ia mengikuti kelas balet dan kegiatan ekstrakulikuler lainnya yang
diselenggarakan oleh sekolahnya.
Saat aktif di komunitas gereja
baru ini, ia kerap mendengar pembicaraan orang-orang di sekitarnya yang
mengaku berbicara dengan Tuhan dalam bahasa roh. Hal tersebut
menimbulkan kebingungan dalam dirinya yang saat itu tengah mempelajari
konsep mengenai ketuhanan.
Ketika merayakan ulang tahunnya yang
ke-17, Susan membuat beberapa resolusi di tahun baru. Salah satu
resolusinya adalah menyelidiki agama-agama lain. "Agama Islam saat itu
tidak masuk dalam daftar teratas karena agama ini bagi saya terlihat
asing dan penuh dengan kekerasan," ungkapnya.
Pengetahuan tentang
Islam yang dimiliki Susan kala itu hanya sebatas pada
penjelasan-penjelasan yang ia baca di buku ensiklopedia anak-anak dan
dalam film berjudul Not Without My Daughter. Di samping itu, ada juga
pesan yang pernah disampaikan ibunya bahwa beliau tidak peduli jika
dirinya menikah dengan seorang pengedar narkoba sekalipun, asalkan
jangan dengan seorang Muslim.
Layar TV
Lalu, kenapa ia
kemudian memilih Islam? Ada nilai lebih yang ia dapatkan dalam agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yakni kedamaian dan kelembutan.
Kebalikan dari yang pernah ia dengar sebelumnya.
Saat disuruh
menjelaskan bagaimana ia bisa memutuskan menjadi seorang Muslimah, ibu
dua anak ini menuturkan kepada harian The Star bahwa ia tidak bisa
mengingat secara pasti, apakah dia menemukan Islam atau Islam
menemukannya. Yang pasti, semua peristiwa tersebut tidak pernah ia
rancang sebelumnya. "Hari itu, saya menyetel televisi dan mendapati diri
saya sedang asyik menyaksikan sebuah program mengenai Islam," ujarnya.
Sejak
saat itu, berbagai artikel mengenai Islam di koran dan majalah selalu
menarik perhatian Susan. Tanpa disadarinya, ia mulai mempelajari agama
Islam. Ketika dalam proses pembelajaran tersebut, Susan justru menemukan
sebuah 'kelembutan' yang tidak pernah ia temukan. Lagi pula, ajaran
Islam menarik baginya secara intelektual.
"Agama ini jauh berbeda
dibandingkan agama-agama yang pernah saya pelajari dan selidiki. Dalam
Islam, ternyata tidak mengenal yang namanya pemisahan antara pikiran,
tubuh, dan jiwa seperti halnya yang pernah saya pelajari dalam agama
Kristen," papar dosen sosiologi Universitas Monash, Australia, ini.
Berawal
dari situ, Susan bertekad bulat untuk memeluk Islam. Satu kebohongan
besar yang terpaksa ia lakukan adalah merahasiakan perihal keislamannya
dari keluarga dan teman-temannya, terutama sang ibu.
Namun,
takdir berkata lain. Rahasia yang telah ditutupinya rapat-rapat
terbongkar juga ketika ibunya mengadakan perjamuan makan malam dengan
menu hidangan utama daging babi. "Saat itu, saya mengalami dilema,
antara mesti mengumumkan soal keislaman saya atau memakan makanan haram
itu," ujarnya mengenang peristiwa itu.
Dalam kebimbangan
tersebut, ia pun berterus terang. Namun, tanpa ia sangka, reaksi yang
ditunjukkan oleh ibunya sungguh membuatnya terkejut. Bukan kemarahan dan
cacian, melainkan tangisan dan pelukan erat dari sang ibunda yang
diterimanya.
Selang beberapa hari setelah insiden makan malam
tersebut, istri dari Waleed Ali ini kemudian memutuskan mengenakan
jilbab. Menurutnya, menutup kepala merupakan kewajiban bagi seorang
Muslimah. Karena, hakikatnya, Islam mengatur segala aspek dalam
kehidupan manusia. Bagi dia, banyak manfaat yang dirasakan dengan
menutup aurat itu. "Selain sebagai sebuah peringatan agar kita lebih
mendekatkan diri kepada-Nya, juga menjadikan wanita Muslim sebagai duta
Islam," ujarnya.
Selepas memeluk Islam, perjalanan hidup yang
dilalui Susan tidaklah semudah yang dialami segelintir mualaf yang
bernasib baik. Susan sering berhadapan dengan kemarahan khalayak ramai
dan dijauhi oleh teman-temannya. Bahkan, ia juga kerap mendapatkan
penghinaan di depan umum terkait dengan jilbab yang menutupi kepala dan
rambutnya.
Namun, kini semuanya berubah. Setelah lima tahun
berislam, barulah Susan mempunyai teman-teman yang bukan saja berasal
dari kalangan Muslim, tetapi juga dari non-Muslim. Dengan busana Muslim
yang membalut tubuhnya, ia kini bebas mengajak anaknya untuk
berjalan-jalan di taman kota ataupun bermain di dekat danau, di mana
dulu semasa kecil ia sering diajak oleh ibunya untuk memberi makan
bebek. Begitupun ketika ia pergi mengajar ke kampus dengan mengendarai
VW Bettle warna merah muda yang biasa disapanya dengan panggilan 'Gus',
tidak ada lagi tatapan sinis dari orang-orang di sekelilingnya.
(republika)
i like it,
BalasHapus>_<