Stasiun televisi terkemuka CNN mewawancarai seseorang bernama Michael
Wolfe tak lama setelah terjadi insiden saat pelaksanaan lontar jumrah,
beberapa tahun lalu. Meski memiliki nama Barat, namun nyatanya Wolfe
mampu memberikan penjelasan secara gamblang dan panjang lebar terkait
ibadah haji, maupun peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya.
Wolfe
juga memaparkan dengan rinci segala hal menyangkut penyelenggaraan
ibadah haji, mulai dari rukun haji, tata cara, hingga
makna pada setiap
ibadah yang dilakukan. Tapi, siapakah Michael Wolfe? Sejatinya, Wolfe
adalah penulis buku berjudul One Thousand Roads to Mecca : Ten Centuries
of Travelers Writing About the Muslim Pilgrimage . Selain itu, dia
pernah membuat film dokumenter tentang ibadah haji untuk stasiun
televisi yang sama.
Jadi, bila ditilik dari curriculum vitae-nya
ini, tak salah jika stasiun televisi tersebut memilih Wolfe sebagai
nara sumbernya. Dia juga dikenal sebagai produser, penulis, serta
cendekiawan. Selain menghasilkan karya buku dan film, dia kerap
memberikan kuliah umum mengenai agama Islam di sejumlah universitas
kondang di AS.
Kiprah pria kelahiran 3 April 1945 itu dalam
agama Islam merupakan wujud komitmennya sebagai seorang Muslim, setelah
ia mengikrarkan dirinya sebagai pemeluk Islam (mualaf). Michael Wolfe
menjadi Muslim pada tahun 80-an, dan sejak itu dia berkhidmat bagi
kemajuan agama Islam dan umat Muslim di seluruh dunia.
Bermula
pada akhir tahun 70, Wolfe yang kala itu sudah menjadi seorang penulis,
ingin mencari pencerahan dalam hidupnya. Dia berupaya melembutkan
perasaan sinisnya dalam melihat kondisi lingkungan di sekelilingnya.
Terlahir
dalam keluarga yang mempunyai dua pegangan agama, ayahnya adalah
keturunan Yahudi, sementara sang ibunda penganut Kristen. Situasi
tersebut menyebabkan Wolfe agak tertekan apabila harus membicarakan isu
agama dan kebebasan.
Hingga kemudian dia menemukan satu momen
berkesan. Suatu ketika dia menempuh perjalanan menuju Brussels, Belgia.
Begitu selesai makan malam, Wolfe pergi ke toilet. Pada waktu bersamaan,
sejumlah penumpang pesawat yang beragama Islam melaksanakan shalat di
bangku masing-masing karena sudah masuk waktu shalat Isya.
Wolfe
yang keluar dari toilet, terkesima melihat peristiwa itu. Dirinya terus
mencermati ibadah yang dilakukan umat Muslim. Dia lantas menyadari, di
manapun dan kapan pun, orang-orang Islam yang beriman tidak akan pernah
melalaikan kewajiban ibadahnya kepada Tuhan.
"Saya hanya berdiri
dan mencermati, Saya melihat sebagian mereka memegang sebuah buku
sebesar telapak tangan yang kemudian meletakkannya di dada sambil memuji
Tuhannya," ungkap Wolfe. Kejadian ini membawa Wolfe ingin lebih
mengenal Islam. Dia ingin menemukan agama yang tidak hanya sebatas
ritual atau pemujaan, serta tidak ada keraguan di dalamnya. Wolfe lantas
memutuskan mengembara ke Afrika Utara, dan menetap di kawasan tersebut
selama lebih kurang tiga tahun.
Di sana, dia berinteraksi dengan
lingkungan yang sama sekali berbeda. Wolfe bertemu dengan banyak etnis,
suku dan agama, termasuk dengan kalangan keturunan Arab dan Afrika yang
beragama Islam. Itulah untuk kali pertama perkenalannya yang benar-benar
intens dengan Islam. Dan segera saja, dia merasakan suasana yang lebih
akrab, santun dan tenggang rasa. Umat Muslim menerimanya dengan tangan
terbuka.
Dari pengamatannya, seperti dikutip dari laman
Islamfortoday , umat Islam tidak pernah membedakan seseorang berdasarkan
etnis ataupun warna kulit. Siapa pun dipandang sama serta setara, baik
miskin, kaya, tua, muda, dan sebagainya. Islam hanya membedakan orang
per orang berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Hal
ini jelas sangat kontras dengan kehidupannya dulu. Misalnya, dalam
pergaulan antarsesama, justru kerap timbul diskriminasi karena perbedaan
warna kulit, etnis atau keyakinan. "Ini terjadi setiap hari di
masyarakat padahal mereka mengaku punya keyakinan agama. Sungguh
memprihatinkan," paparnya.
Dia pun menemukan kedamaian dalam
Islam. Dalam hati, dia membenarkan pernyataan tokoh Muslim AS, Malcolm
X, yang berkata bahwa orang Amerika perlu memahami Islam karena Islam
adalah satu-satunya agama yang mengajarkan saling menghormati dan
menghargai antarmanusia secara tulus. Penulis artikel berjudul Islam:
The Next American Religion? ini pun berpendapat, Islam merupakan agama
yang sesuai bagi kondisi Amerika. Ada beberapa alasan, antara lain,
Islam memiliki semangat demokrasi, egaliter, serta toleran terhadap
keyakinan lain.
Wolfe tercatat dua kali mengadakan perjalanan ke
Maroko, yakni pada tahun 1981 dan 1985. Pada akhirnya dia berkesimpulan
bahwa Afrika Utara merupakan wilayah yang bisa menghadirkan keseimbangan
baru dalam hidupnya. Hatinya tertambat di Afrika Utara. Dan tak hanya
tertambat pada Afrika Utara, hatinya mulai terkesima dan takjub dengan
Islam. Semakin banyak mendalami Islam, semakin kuat keyakinan dalam
dirinya. Michael Wolfe akhirnya memutuskan menjadi Muslim.
Keputusannya
ini disayangkan oleh rekan-rekannya yang terdiri dari kalangan
akademisi Barat. Sebagian mereka masih mengaitkan Islam dengan
masyarakat yang terbelakang dan agama kekerasan. Mereka pun meminta
Wolfe untuk mengurungkan keputusan tersebut.
Akan tetapi, Wolfe
yang kemudian berganti nama menjadi Michael Abdul Majeed Wolfe, tidak
goyah. Wolfe menilai rekan-rekannya keliru menilai Islam. Islam, dari
pengamatannya, selama ini banyak disalahartikan dan diputarbalikkan dari
kenyataan yang sebenarnya. "Pendeknya, Islam adalah agama damai," tegas
Wolfe.
Dirinya kian mantap memeluk Islam, dengan segala
konsekuensinya, karena dia melihat kebaikan dan keutamaan dalam agama
ini. Menurutnya, agama Islam justru menekankan pada persaudaraan dan
cinta kasih, baik kepada sesama manusia juga alam semesta.
Lebih
jauh, tokoh ini melihat, dalam beberapa tahun ke depan, Islam akan
menjadi agama dengan perkembangan paling pesat di Eropa dan Amerika.
Dari tahun ke tahun, jumlah pemeluk Islam mengalami pertumbuhan,
termasuk mereka yang menjadi mualaf, dan antara lain dipicu oleh semakin
banyaknya orang yang memahami esensi sejati ajaran Islam tadi.
Wolfe
semakin antusias mengikuti ibadah dan kegiatan keislaman. Dia membaca
banyak buku tentang Islam dan melibatkan diri dengan aktivitas Masjid di
dekat kediamannya di California. "Setiap tahun umat Islam berpuasa
sebulan penuh dan diikuti dengan pelaksanaan haji kira-kira selama 40
hari. Itulah kemuliaan agama Islam," katanya.
Dijelaskan, Islam
berasaskan pada lima rukun utama. Salah satunya adalah haji. Wolfe
percaya, bila telah mampu secara materi dan fisik, seseorang wajib
hukumnya melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci, sekurang-kurang sekali
seumur hidup.
Usai menunaikan ibadah haji sekitar awal tahun
1990, Wolfe memberikan sumbangan terbaiknya berupa buku berjudul Mecca:
The Hadj yang diterbitkan pada 1993, dan One Thousand Roads to Mecca
(1997). "Sekarang saya berharap dapat mendalami keyakinan agama yang
sudah tersemai sejak sekian lama," ujar Wolfe.
Melanjutkan
kegiatan menulisnya, lulusan sarjana muda Seni Klasik di Universitas
Wesleyan ini mendirikan penerbitan Tombouctou Books di Bolinas,
California. Salah satu prestasinya yakni saat mengedit koleksi esai para
penulis Muslim Amerika dalam buku bertajuk Taking Back Islam: American
Muslims Reclaim Their Faith . Buku ini memenangi Anugerah Wilbur pada
2003 dalam kategori buku agama terbaik.
Wolfe juga pernah menjadi
pembawa acara sebuah program film pendek tentang perjalanan haji ke
Makkah untuk acara Ted Koppel's Nightline di stasiun televise ABC.
Program tersebut juga berhasil meraih penghargaan media dari Muslim
Public Affair Council.
Berdakwah Lewat Media Film
Kecintaan
Michael Wolfe tak perlu diragukan lagi. Hari-harinya senantiasa diisi
dengan berbagai kegiatan keislaman. Di sela-sela kesibukannya menulis,
yang ia jadikan sebagai media dakwah, Wolfe melebarkan syair Islam pada
masyarakat luas, terutama non-Muslim melalui media lain. Pada Februari
2003, dia bekerjasama dengan wartawan televisi CNN, Zain Verjee, untuk
membuat program film dokumenter tentang ibadah haji.
Pada tahun
1999, bersama dengan rekan sesama sineas, Alex Kronemer, Wolfe
mendirikan sebuah yayasan pendidikan media yang diberi nama Unity
Productions Foundation (UPF). Kolaborasi Wolfe dan Alex dalam UPF
kemudian menghasilkan karya film dokumenter televisi mengenai kisah
hidup Nabi Muhammad SAW berjudul Muhammad: Legacy of a Prophet .
Terkait
film tersebut, Wolfe mengungkapkan mereka ingin menyasar dua audiens
sekaligus. Pertama, kalangan terpelajar serta masyarakat awam Barat.
Sebagian besar mereka belum banyak mengetahui tentang kehidupan Nabi
Muhammad SAW yang sesungguhnya, sehingga kerap memberikan persepsi
negatif. Sedangkan kedua, masyarakat Muslim sendiri agar mereka lebih
mengenal sosok Nabi SAW yang mulia.
Film ini mengambil lokasi di
tiga negara, Arab Saudi, Yordania dan Amerika Serikat. Sejumlah tokoh
agama, sejarawan dan cendekiawan semisal Syekh Hamza Yusuf, Karen
Armstrong, Cherif Basiouni, Sayyid Hossen Nasr, serta banyak lagi, yang
tercatat menjadi narasumbernya. Untuk menambah keakuratan, bersama
dengan Kronemer, Wolfe mempelajari sirah (sejarah) serta buku-buku
tentang hadis Rasulullah SAW.
(republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar