Namanya mencuat di Indonesia ketika ada Konferensi Khilafah
Internasional (KKI) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Agustus
2007. Ia adalah salah satu pembicara kegiatan akbar yang menghentak
dunia pada saat itu. Sebelumnya kaum Muslim di Indonesia tak banyak tahu
ada seorang cendekiawan Jepang yang begitu besar perhatiannya terhadap
dakwah Islam.
Prof. Hassan Ko Nakata (49) adalah satu dari
sedikit kaum intelektual di negeri matahari terbit yang tertarik pada
Islam. Ia mengaku masuk Islam pada tahun 1983. Itu pun dilakukannya
setelah 15 tahun mempelajari Islam. Cukup lama untuk sebuah keputusan
yang buat kebanyakan orang di Indonesia adalah hal biasa, tapi tidak
untuk orang Jepang karena agama bagi orang Jepang sudah out of mind
(berada di luar semesta pemikiran). Kebanyakan orang Jepang tak lagi
memerhatikan agama.
Presiden Asosiasi Muslim Jepang ini masuk
Islam ketika menjadi mahasiswa di tahun ketiga di Fakultas Studi Islam
di Tokyo University. Sebelumnya ia sangat familiar dengan agama Kristen.
Tak heran ketika awal kuliah di Tokyo University, ia mengikuti kelompok
kajian Bibel. Di situlah ada kajian tentang perbandingan agama.
Di
sana ada perbandingan agama Kristen, Yahudi, Shinto, Budha, dan Islam.
Ketika menimbang dan membanding selama sekitar setahun ia merasa ajaran
Islamlah yang paling menyeluruh. “Saya menemukan bahwa Islamlah sistem
hidup yang paling komprehensif, paling rasional dan konsisten, dan
akhirnya atas rahmat Allah SWT saya memutuskan untuk masuk Islam,”
tuturnya. Ia pun menambahkan Hassan di depan nama aslinya. Ia pernah
mendalami tarekat Naqshabandiyah dan Syaziliah. “Namun saya bukan murid
yang baik,” ujarnya.
Usai bergelar sarjana, Hassan ingin lebih
memperdalam Islam. Namun belum ada program master Kajian Islam di
universitas Jepang. Buku-buku Islam berhuruf kanji pun masih sulit
didapat. Untunglah tak lama kemudian Universitas Tokyo membuka program
master Kajian Islam. ”Saya menjadi mahasiswa Muslim pertama dan terakhir
di jurusan Islamic Studies Universitas Tokyo selama 25 tahun ini,” ujar
Profesor ini.
Setelah menyelesaikan masternya di Tokyo
University, ia melanjutkan studi doktornya di Universitas Kairo.
Disertasianya tentang Pemikiran Politik Ibn Taymiyah (al-Fikratu
al-Siyasatu ‘inda Ibni Taymiya). Dalam disertasi itu ia menjelaskan
keunikan pemikiran politik Ibnu Taymiyah dalam sejarah pemikiran politik
dan pengaruhnya terhadap gerakan politik kontemporer, termasuk terhadap
Hizbut Tahrir. Setelah lulus doktor, Hassan sempat menjadi peneliti
Kedutaan Jepang di Saudi Arabia (1992-1995). Tak heran ia sangat fasih
berbahasa Arab.
Kiprahnya dalam dakwah di Negeri Sakura ini
tergolong menonjol. Karakteristik orang Jepang sekarang cuek terhadap
agama memacunya mencari jalan untuk bisa mendakwahkan Islam. Terlebih
lagi sangat sedikit dai yang berkualitas.
Satu-satunya jalan terbaik
untuk menyebarkan Islam di Jepang, menurutnya, adalah melalui pengaruh
personal dari pelaku dakwah yang memiliki pengetahuan yang luas dan
mendalam tentang Islam dengan kepribadian yang baik serta memahami
budaya Jepang.
Ia bersama minoritas Muslim Jepang melakukan
berbagai upaya, di antaranya menerjemahkan sejumlah kitab klasik seperti
Tafsir al-Jalalain, al-Siyasah al-Syar’iyyah of Ibn Taimiyyah, dan Zad
al-Mustaqni’ al-Hujawi al-Hanbali, juga menerbitkan majalah bulanan yang
disebarkan secara cuma-cuma kepada seluruh Muslim Jepang di seluruh
dunia sebagai media informasi dan komunikasi.
Hassan Ko Nakata
kini menjadi Presiden Asosiasi Muslim Jepang sembari mengajar Kajian
Islam di Universitas Doshisha, Kyoto. Mayoritas mahasiswanya justru
beragama Kristen. Selama empat tahun menjadi Guru Besar di Doshisha,
Hassan berhasil memikat empat mahasiswanya yang semula atheis untuk
masuk Islam.
Kontak dengan Hizbut Tahrir
Banyak
orang mengira bahwa profesor ini adalah anggota Hizbut Tahrir (HT)
sebab pandangan-pandangannya tentang Islam mempunyai kesamaan dengan
pemikiran HT. Ternyata ia memang memiliki kontak dengan anggota HT.
Kontak
itu terjadi ketika ia mengunjungi Arab Saudi. Ia bertemu dengan syabab
HT di negeri itu. Syabab ini seorang dokter dan kini tinggal di Kanada.
Dari dokter inilah ia mengetahui banyak soal pemikiran-pemikiran HT
tentang keharusan menegakkan Khilafah.
Ia mengaku sangat terkesan
dengan pertemuan itu. Menurutnya, Hizbut Tahrir adalah satu-satunya
gerakan politik Islam yang memiliki teori politik yang konsisten dan
terintegrasi yang disusun berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap
syariah dan realitas Dunia Islam kontemporer.
“Saya tidak yakin
bahwa kita, umat Islam, dapat menegakkan kembali Khilafah hanya dengan
usaha kita semata. Tapi saya percaya bahwa satu-satunya jalan untuk
menegakkan kembali Khilafah, di luar adanya keajaiban dari Allah, adalah
melalui usaha dengan metodologi yang berdasar pada pemikiran politik
Hizbut Tahrir. Hanya, pemikiran itu memerlukan pengembangan dan
penyesuaian sesuai dengan perubahan-perubahan kontemporer yang terjadi
di dunia,” kata Profesor Hassan.
Ketika berbicara di hadapan 100
ribu orang yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno Agustus 2007,
ia mengatakan, “Dalam konteks dunia Islam kontemporer, hanya Hizbut
Tahrirlah yang bisa dikatakan sebagai “gerakan politik Islam” yang
memperjuangkan terealisasinya Khilafah yang merupakan panggilan
universal; tidak hanya untuk umat Islam, tetapi lebih dari itu.”
Ia
mengatakan bahwa Khilafah tidak hanya dapat diterima oleh komunitas non
Muslim, namun juga sangat diinginkan oleh mereka yang percaya kepada
kesetaraan, keadilan, kebebasan dan kemanusiaan. Alasannya, sistem
Khilafah memiliki pemerintahan “membumi” atau “bersifat keduniaan” yang
menjamin otonomi komunitas beragama dalam konteks sosial yang sangat
beragam. Sistem Khilafah ini juga berfungsi sebagai sarana pembebasan
untuk mengentaskan sistem negara bangsa yang eksplotitatif yang
memenjarakan dalam penjara “negara bangsa”.
Ia menyebutkan dua peran
ganda Hizbut Tahrir, yakni mencerahkan umat Islam akan kewajiban mereka
dalam mendirikan kembali Khilafah sesuai dengan hukum syariah dan
menjelaskan misi Islam universal dari sistem Khilafah kepada dunia Barat
dengan sudut pandang ilmu sosial negara Barat.
Dalam konteks
itu, ia menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan tempat terbaik untuk
menjalankan misi Islam ini karena kondisinya yang tidak ditemukan di
negeri Muslim lainnya.
(mediaumat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar